Tuesday 27 October 2009

Satire

Satire




Mari berbicara tentang jenis tulisan yang bernama satire!

Satire berasal dari kata Latin yakni satura, yang berarti “campuran” (atau sesungguhnya, arti harafiahnya adalah “semangkuk aneka buah-buahan”). Penyair Romawi, Horace, dianggap sebagai satiris pertama yang menggunakan cara satire dalam puisi-puisinya untuk menyerang situasi kehidupan dan manusia.

Apakah tulisan satire itu? Satire adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang.
Kerap tulisan satire digunakan untuk tulisan yang bertema serius, tetapi harus diketahui, satire adalah seni menulis yang diakui oleh para penulis komedi sebagai teknik menulis humor yang paling terhormat, tersulit, dan teranggun. Hal ini disebabkan satire bukan hanya sekadar tulisan humor yang bertujuan untuk tertawa, melainkan untuk memberikan perspektif pada kritik-kritik sosial dan problem-problem yang ada dalam masyarakat. Satire menggunakan kendaraan humor terhadap masalah yang dihadapi publik sehingga dapat diperbaiki dan terjadi perubahan yang berarti di masa depan.

Bagi audience yang tidak terbiasa dengan satire (karena kerap menggabungkan humor dengan sarkasme) menganggap tulisan satire itu sangat mengganggu dan menyerang individu secara pribadi. Sehingga sangat disayangkan, seringkali mereka kehilangan poin-poin penting yang hendak diangkat dalam tulisan tersebut. Novel Huckleberry Finn yang ditulis oleh Mark Twain bernapas dalam satire, menyerang rasisme dalam kejenakaannya yang menggigit. Pembaca yang terlalu marah dengan sindiran itu justru menyalakan lonceng kematian terhadap isu-isu penting yang justru diusung dengan sengaja oleh penulisnya.

Mengamati jenis satire akan terlihat jenis satire yang lembut, bersifat urbana, dan bertujuan untuk “memberikan cermin” kepada masyarakat untuk merefleksikan kebodohan, kedunguan, dan kelinglungan dalam nilai-nilai kehidupan yang mereka anut. Jenis satire yang keras, dingin, kasar, dan marah menunjukkan korupsi kemanusiaan dan institusi publik yang tidak dapat ditoleransi. Jenis satire ini menggunakan dosis sarkasme dan ironi yang sangat tinggi.

Para satiris memanfaatkan berbagai alat untuk menjalankan tulisan satire-nya. Karikatur adalah presentasi kesusastraan yang menyindir berbagai masalah dalam bentuk komik. Kita bisa melihat karikatur Oom Pasikom yang fenomenal tersebut di harian Kompas sebagai contoh karikatur yang bernuansa satire. Hiperbola adalah alat lain yang digunakan untuk melebih-lebihkan keadaan sehingga menimbukan efek komik dalam bentuk kalimat. Lawan dari hiperbola adalah Understatement yakni merendah-rendahkan atau mengecil-ngecilkan situasi sampai pada titik ekstrim yang bertujuan untuk mentertawakan keadaan. Ironi adalah mengkontraskan sesuatu yang “kelihatan” dengan apa yang “sesungguhnya terjadi”. Sarkasme adalah menciptakan kepahitan yang bertujuan untuk mengolok-olok seseorang atau sesuatu. Ironi bisa berarti sarkasme; tapi pernyataan yang ironis tidak selalu sarkastik. Parodi ditulis untuk mengopi atau mengimitasi hasil karya lain untuk mengejek dengan efek tawa dan kelucuan. Juktaposisi adalah penggunakan dua ide, deskripsi, atau definisi yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang sebagai pembandingan dan pengkontrasan yang menggelikan.

Tulisan satire bermunculan dalam berbagai wajah. Dia bisa tampak dalam naskah teater, drama, televisi, maupun layar lebar; bisa juga berbentuk lirik lagu, puisi, syair, cerita pendek, novel, sampai esai non-fiksi. Sebagai pembaca, kita akan tertawa terbahak-bahak karena merasa lucu atau bahkan tidak tertawa sama sekali; meringis masam dan tertampar telak. Itulah efek yang ditimbulkan oleh tulisan satire.

Menulis satire menjadi tantangan besar bagi penulis lesbian. Para lesbian Indonesia memerlukan kritik-kritik sosial dalam nilai-nilai yang dianutnya agar tercipta kontrol masyarakat dan hati nurani yang berguna bagi kemajuan semua. Membaca satire juga menjadi aktivitas pembelajaran bagi kaum lesbian agar tidak mudah terprovokasi menjadi cynical kepada para satiris lesbian. Satire butuh lahan yang subur agar menjadi aneka tulisan yang berbobot dan mak nyus. Sangat sulit untuk berbunga jika para pembacanya adalah lesbian-lesbian yang mudah tersinggung, tidak dapat menerima kritik, dan bercitarasa humor kering.

Karya kesusastraan dalam bentuk satire yang menyindir, mengolok-olok, dan mentertawakan isu-isu dunia lesbian selayaknya dibaca dengan hati yang lapang dan pikiran yang maju. Cerpen Lesbi adalah jenis satire yang dengan baik diangkat oleh penulisnya – Tommy Awuy, menggunakan alat hiperbola, sarkasme, dan juktaposisi untuk mengolok-olok masyarakat yang ‘sakit’. Sebab potret retak dan buram kaum lesbian tidak melulu soal urusan terpinggirkan, labelisasi penampilan (yang sangat membosankan itu!), atau masalah coming out di masyarakat. Masih banyak isu-isu lainnya yang memerlukan kritisasi tajam, seperti nilai persahabatan, gaya berpacaran, pernikahan dengan lelaki, narkoba, bunuh diri, putus sekolah, seks, penyakit dan kematian, depresi dan stres, karier serta pekerjaan, kesepian dan kesendirian, dan lain-lain.

Pengejekan dan pengolok-olokan pada suatu kaum yang kemudian meledak menjadi amukan kesal terpicu sensitivitas yang kelewat tinggi tidak dapat menjadi sarana pengajaran yang baik bagi kaum tersebut. Sangat disayangkan jika kita – masyarakat lesbian tidak dapat melihat nilai-nilai penting yang diangkat dari hasil karya satire homoseksual. Semua akan berakhir sia-sia karena akhirnya ini suatu pembuktian (lagi) tentang kita -- kaum lesbian -- sebagai kaum yang (memang) pantas dikasihani dan dicemooh.

@Lakhsmi, SepociKopi, 2008







No comments:

Post a Comment